Oleh:
Iskandar, S.Pd.I
A.
Pendahuluan
Kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan
lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah.
Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Kearifan lokal merupakan
tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan
tempatnya hidup secara arif.
Maka dari itu kearifan
lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh
tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik
yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan
lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu,
tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Ciri-ciri kearifan lokal adalah sebagai
berikut: mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar
ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, mampu memberi arah
pada perkembangan budaya.
Secara
substantif, kearifan lokal berorientasi pada: (1) keseimbangan
dan harmoni manusia, alam dan budaya; (2) kelestarian dan
keragaman alam dan kultur; (3) konservasi
sumber daya alam dan warisan budaya; (4) penghematan
sumber daya yang bernilai ekonomi; (5) moralitas dan
spiritualitas.[1]
Kearifan lokal banyak kita temukan diberbagai sektor baik dibidang pertanian,
industri, pendidikan, lingkungan, keamanan maupun pemerintahan.
B.
Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu
kearifan (wisdom)
atau kebijaksanaan dan lokal (local)
atau setempat.[2]
Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam pengertian kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan
Hassan Syadily, kearifan lokal disebut local
wisdom yang berarti kearifan atau kebijaksanaan di suatu tempat ataupun
wilayah tertentu.
Menurut Sartini
(2004) dalam penelitiannya yang berjudul Menggali Kearifan Lokal[3]
dia mengatakan Lokal Genius adalah ide-ide
lokal yang memilki karakteristik seperti: bijaksana, penuh hikmat, nilai-nilai
yang baik, yang ditanam dan diikuti oleh masyarakat. Local genius juga
merupakan kearifan lokal, berdiri dari luar berbudaya, yang mengakomodasi dan
mengintegrasikan budaya luar ke dalam, dan memberi mereka dengan cara yang
benar. Local genius muncul kepada nilai, norma,
iman, adat, dll. Mereka memiliki arti khusus dan fungsi. Pasti berubah karena
lintas budaya dan globalisasi. Ini memberikan tantangan
untuk mengeksplorasi dan mengkritik dengan cara ilmiah.
Definisi kearifan lokal secara bebas dapat
diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal
ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita
harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah
tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah
diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku
anak-anaknya.
Berdasarkan
beberapa pendapat diatas, maka penulis menyimpulkan kearifan lokal adalah sesuatu
yang memiliki nilai-nilai budaya yang baik yang sebenarnya sudah diajarkan
semenjak lama dari nenek moyang kita terdahulu dan masih dipertahankan dan
dilestarikan dari generasi ke generasi sehingga menjadi sebuah tradisi yang
lumrah.
C.
Hakikat Kearifan Lokal
Kearifan Lokal merupakan jawaban
kreatif terhadap situasi goegrafis-politis, historis dan situasional yang
bersifat lokal yang mengandung sikap, pandangan dan kemampuan suatu masyarakat
didalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya. Semua itu merupakan upaya
untuk dapat memberikan kepada warga masyarakatnya suatu daya tahan dan daya
tumbuh di wilayah dimana masyarakat itu berada. Oleh sebab itu, kearifan lokal
merupakan perwujudan dari daya tahan dan daya tumbuh yang dimanifestasikan
melalui pandangan hidup, pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang
berupa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai
masalah dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, sekaligus memelihara kebudayaannya.[4]
Dalam pengertian inilah kearifan
lokal sebagai jawaban untuk bertahan dan menumbuhkan secara berkelanjutan
kebudayaan yang didukungnya. Setiap masyarakat termasuk masyarakat tradisional,
dalam konteks kearifan lokal seperti itu, pada dasarnya terdapat suatu proses
untuk menjadi pintar dan berpengetahuan. Hal itu berkaitan dengan adanya
keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan.
Wujud kearifan lokal yang umumnya
berkembang didaerah pedesaan karena ada kebutuhan untuk menghayati,
mempertahankan dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi dan kondisi serta
kemampuan dan nilai-nilai yang dihayati didalam masyarakatnya.
Kadangkala pengetahuan lokal biasa
disebut dengan kearifan masyarakat yang tidak relevan dan tidak memiliki
kekuatan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan produktivitas dalam dunia modern,
padahal pengetahuan lokal yang dianggap tidak rasional dan bersifat tradisional
serta kerapkali dianggap unik itu masih dijumpai dan berkembang didalam
kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan untuk menjawab perubahan lingkungan
alam saat ini. Dalam konteks itulah kearifan lokal menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
D.
Sejarah Terbentuknya Kearifan Lokal
Awal
pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara
pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuknya kearifan
lokal mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara).[5]
Kearifan lokal adalah
tata nilai kehidupan masyarakat yang menjelma dalam bentuk religi, adat
istiadat maupun budaya yang merupakan warisan dari kakek moyang kita. Dalam
perkembangannya, setelah melakukan adaptasi dengan lingkungannya, masyarakat
mengembangkan kearifan tersebut menjadi sebuah pengetahuan, ide dan peralatan yang
kemudian dipadu dengan adat istiadat, nilai budaya aktivitas pengelolaan
lingkungan sehingga berguna bagi kehidupan mereka.[6]
Terbentuknya
suatu kearifan diilhami dari ide atau gagasan seseorang/perorangan. Gagasan
tersebut kemudian ditemukan dan dipadukan dengan gagasan orang lain sehingga terciptalah
satu gagasan yang bersifat kolektif.[7]
Tujuannya adalah untuk suatu kebaikan dan keseimbangan sebuah komunitas. Baik
kemunitas kecil maupun komunitas yang lebih besar. Atau kemunitas pedesaan dan
juga komunitas suatu masyarakat. Kearifan lokal akan terus bergerak dan
berkembang seiring dengan kemajuan manusianya terhadap cara berfikir,
berperilaku dan bermasyarakat.
Kearifan
ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan budaya pada lingkungan tersebut.
Karena dalam pelaksanaannya erat sekali dengan pelaksanaan budaya.
Hadirnya Islam dengan
pendakwah-pendakwah yang cekatan dan kegigihannya bisa merangkul kearifan yang
baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam sehingga masyarakat merasa enjoy
menerima Islam menjadi agamanya.[8] Umumnya para pendakwah Islam
dapat menyikapi tradisi lokal yang dipadukan menjadi bagian dari tradisi yang Islami,
karena berpegang pada suatu kaidah ushuliyah (kaidah yang menjadi pertimbangan
pada perumusan hukum menjadi hukum fiqih), yang cukup terkenal, yakni:
المحافظة
على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Sentuhan ajaran Islami dapat mewarnai berbagai ritual dan tradisi lokal
yang dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia, bukti keberhasilan dakwah Islam sebagai
Rahmatan Lil Alamin. Walaupun masih ada diantara mereka terjadi
perselisihan pendapat. Penyebabnya adalah ada sebagian masyarakat yang menghendaki
agar lahirnya Islam di Indonesia layaknya Islam yang ada di Arab. Namun realita
menunjukkan bahwa ritual dan tradisi lokal selalu dilakukan oleh kalangan
muslim tradisional pada umumnya, bukan hanya di jawa, namun menyebar ke seluruh
pelosok nusantara.
Proses percampuran antara tradisi
lokal, Hindu-Budha dan Islam dalam kehidupan keagamaan masyarakat yang bercorak
Islam salah satunya tidak dapat dilepaskan dari peranan para wali sembilan
(wali songo). Secara umum para wali songo menyebarkan ajaran agama Islam
melalui media dakwah yg telah disesuaikan dengan keadaan, adat istiadat,
kebudayaan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Walisongo telah mengajarkan kepada
kita sebuah tradisi keagamaan yang transformatif (tahawwuli wa taghyiri).
Proses Islamisasi yang dilakukan oleh walisongo bukan sekedar mengajak
masyarakat masuk Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju
tatanan sosial yang lebih adil, manusiawi dan juga berakar pada tradisi
masyarakat setempat.[9]
E.
Pola Pelestarian atau Pewarisan Kearifan Lokal
Bangsa yang besar adalah bangsa yang
tidak meninggalkan budayanya bahkan justru mampu mengembangkan budaya yang
telah ada menjadi budaya yang bisa dikenal oleh khalayak ramai. Budaya yang
berlaku dalam masyarakat merupakan bentuk dari kearifan lokal yang secara turun
temurun sudah berlaku didalam masyarakat.
Kearifan lokal yang sudah menjadi
sosok budaya didalam masyarakat memiliki pola pelestarian dan pewarisan.
Diantara cara melestarikan kearifan lokal adalah:
1.
Memberikan
pendidikan dan pengajaran tentang kebudayaan kepada generasi muda sedini
mungkin, sehingga menimbulkan rasa cinta dan rasa memiliki terhadap kearifan
lokal yang ada;
Contoh: adanya muatan-muatan lokal di sekolah-sekolah tentang
kebudayaan daerah setempat.
2.
Mengupayakan
adanya dukungan di semua pihak, baik dari pemerintah maupun swasta terhadap perkembangan
kearifan lokal.
3.
Pemahaman
dari suatu pengalaman yang panjang dengan pengamatan secara langsung atau
disebut learning by experience yang dipertahankan dari generasi ke
generasi.[10]
Beberapa
motivasi yang harus digerakkan agar kearifan lokal bisa dilestarikan,[11]
diantaranya:
1.
Motivasi
untuk menjaga, mempertahankan dan mewariskan warisan budaya lokal yang
diwarisinya dari generasi sebelumnya;
2.
Motivasi
untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan generasi penerus bangsa terhadap
nilai-nilai sejarah kepribadian bangsa dari masa ke masa melalui pewarisan
khasanah budaya dan nilai-nilai budaya secara nyata yang dapat dilihat,
dikenang dan dihayati;
3.
Motivasi
untuk menjamin terwujudnya keragaman atau variasi lingkungan budaya;
4.
Motivasi
ekonomi yang percaya bahwa nilai budaya lokal akan meningkat bila terpelihara
dengan baik sehingga memiliki nilai komersial untuk meningkatkan kesejahteraan;
5.
Motivasi
simbolis yang meyakini bahwa budaya lokal adalah manifestasi dari jati diri
suatu kelompok atau masyarakat sehingga dapat menumbuhkembangkan rasa
kebanggaan, harga diri dan percaya diri yang kuat.
F.
Macam-Macam Kearifan Lokal
Macam-macam
kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan,
adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Secara substansi kearifan
lokal dapat berupa aturan mengenai; kelembagaan dan sanksi sosial, ketentuan
tentang pemanfaatan ruang dan perkiraan musim untuk bercocok tanam, pelestarian
dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, bentuk adaptasi tempat tinggal
terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya.
Kearifan lokal dapat diklasifikasikan menurut
wujudnya:
1.
Wujud religi dan kebudayaan, antara lain:
filsafat, aturan, keyakinan mengenai Tuhan/Dewa, keyakinan mengenai alam lain
sesudah mati;
2.
Wujud sistem sosial, antara lain: upacara dan
ritual, kegiatan-kegiatan sosial yang dilandasi nilai-nilai atau aturan-aturan
keagamaan dan organisasi-organisasi agama;
3.
Wujud religi dan Kebudayaan fisik, antara lain:
bangunan candi, patung dewa-dewa, masjid, peralatan upacara dan tempat-tempat
ibadah serta peralatannya.
G.
Contoh Kearifan Lokal
- Tahlilan, recitation of several verses from the Holy Quran and
prayers were made for the well-being of community;
- Kasidahan, traditional religious singing accompanied by hand
drums;[12]
- Ruwahan, observances is to cleanse and purify the physical body
in preparation for the fast;[13]
(Ibadah untuk membersihkan dan memurnikan jiwa sebagai persiapan menghadapi
puasa).
- Selapanan, thirty-five days after birth all these things are
taken down and there is another slametan, with roughly the same food as on the
fifth day.[14]
- Kelahiran; ngapati, nglimani, mitoni[15]/tingkeban,
nyangani, brokohan, sepasaran, puputan, selapanan, tedhak siti, setahunan;
- perkawinan; kumbakarnan, pasang tarub, midadareni, majemukan,
selametan, walimahan, sepasaran manten;
- penggunaan ruang dalam masyarakat baduy; mereka membagi 3 zone.
Zone pertama untuk pemukiman, kedua untuk bercocok tanam dan zone teratas
adalah untuk hutan dan pemujaan. Dalam sistem perladangan mereka tidak
melakukan perubahan secara besar-besaran akan tetapi mengikuti alam yang
berlaku saat itu.[16]
- Tradisi Masyarakat Bali yang relevan dengan teori pendidikan dan
pengajaran modern; konsepsi belajar-mengajar, jenjang dan disiplin belajar.[17]
- Kudus, etos Gusjigang memiliki makna ‘gus’ yang berarti bagus, ‘ji’
yang berarti mengaji, dan ‘gang’ yang berarti berdagang. Melalui filosofi
inilah sunan kudus menuntun para pengikutnya beserta masyarakat kudus menjadi
orang-orang yang memiliki kepribadian yang bagus, tekun mengaji, dan mau
berusaha atau berdagang. [18]
Dalam tulisan Ihda Taftazani seorang praktisi keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) atau juga disebut occupational safety. Spesialisasi di
OHSAS dan NOSA, berkecimpung di dunia manajemen sistem K3. Juga seorang safety
trainer dan konsultan. Pernah di industri manufaktur, industri tambang mineral, industri alat berat. Setelah sekian
lama di Papua, sekarang di JakartaSalah satu falsafah sunan kudus : “yen
sira landep ojo natoni, yen sira banter ojo nglancangi, yen sira mandhi ojo
mateni”. Yang artinya : “Jika engkau cukup tajam perkataannmu jangan
melukai, jika engkau cukup cepat jangan mendahului, jika engkau cukup sakti
jangan membunuh”. Ini adalah bukti kenegarawan Sunan Kudus dalam menjaga hati,
kesopanan, tingkah laku beliau supaya tidak takabbur.[19]
- Pati dan sekitarnya, dikenal istilah ''Sambatan'' sebuah perilaku
pro sosial yang menjadi ciri khas kesatuan bangsa Indonesia terutama yang hidup
diperdesaan. Kontak sosial yang begitu terasa melekat pada setiap warga mampu
membentuk semangat gotong-royong yang tinggi tanpa mengharapkan imbalan
sedikitpun.
- Dan lain-lain, termasuk budaya gotong-royong, saling menghormati,
tepa selira, ziarah dan masih banyak yang lainnya.
H.
Hikmah Kearifan Lokal
Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali
keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan
kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita
sebagai sebuah bangsa. Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan
sumber kearifan lokal yang tidak akan mati, karena semuanya merupakan
kenyataan hidup (living reality)
yang tidak dapat dihindari.
Selain itu, kearifan lokal dapat mentransfer
nilai-nilai luhur suatu bangsa yang merupakan warisan yang mahal dari para
leluhur.
Keterkaitan manusia dengan alam dalam konsep
penyatuan terwujud dalam pandangan
masyarakat jawa bahwa manusia dan alam hidup memiliki ketergantungan diantara
keduanya.
Hamengku Bumi adalah filosofi yang paling berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Bahwa
manusia wajib menjaga, merawat dan mengembangkan kelestarian lingkungan alam
karena alam telah memberikan sumber kehidupan bagi manusia untuk bisa
melanjutkan keturunan dari generasi ke generasi.
H.M. Nasruddin Anshory dalam Unggul Sudrajat menyatakan bahwa
hubungan manusia dengan alam sangatlah erat, alam tercipta untuk kebutuhan para
manusia yang mana semuanya ikut bertasbih dihadapanNya. seperti Firman Allah
swt pada Surat Alhajj: 18 berikut ini:
Artinya: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada
Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang,
gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar
daripada manusia?
Juga
dijelaskan dalam hadist, Tidaklah seorang
muslim yang menanam pohon atau yang mananam tanaman yang kemudian hasilnya dimakan
burung, manusia atau binatang, melainkan hal itu bagi penanam itu menjadi
sedekah (HR. Bukhori)[20]
I.
Kesimpulan
Kearifan lokal adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai
budaya yang baik yang sebenarnya sudah diajarkan semenjak lama dari nenek
moyang kita terdahulu dan masih dipertahankan dan dilestarikan dari generasi ke generasi
sehingga menjadi sebuah tradisi yang lumrah.
Kearifan lokal yang dapat dipertahankan dan
patut dilestarikan sesuai dengan ajaran agama Islam merupakan hasil usaha dari
para ulama-ulama jaman dahulu terutama para waliyullah.
Kearifan lokal bisa dipertahankan dari
generasi ke generasi dengan cara penyebaran, pencampuran dan pembauran budaya
antar masyarakat. Dan bisa menjawab perubahan lingkungan masyarakat saat ini
sehingga wujudnya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
J.
Kepustakaan
Anies, H.M. Madchan, Tahlil dan Kenduri; Tradisi Santri dan Kiai,
CD-ROM, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009)
Anshoriy Ch , H.M. Nasruddin, Sudarsono, SH. Kearifan Lingkungan
dalam Perspektif Budaya Jawa, CD-ROM, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2007)
Baso , Ahmad, NU Studies; Pergolakan Pemikiran Antara
Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Noe-Liberal, CD-ROM, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2006)
Daniels, Thimoty, Islamic Spectrum in Java, CD-ROM, (USA:
Ashgate Publishing Limited, 2009)M. Echols, Jhon dan Hassan Shadzily, Kamus
Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1976)
Dono Karmadi, Agus, Kepala Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Jawa
Tengah, Makalah Dialog Budaya Daerah Jawa Tengah
(Semarang: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah) 8 - 9 Mei 2007
Kim, Hyung-Jun, Reformist Muslim in Yogyakarta Village; The
Islamic Transformation of Contemporary Socio-Religious Life, CD-ROM,
(Australia: ANU E Press, 2007
M. Echols ,
Jhon dan Hassan Shadzily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1976)
Pattinama,
Marcus J. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal; Studi Kasus di Pulau
Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat), Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.
13, No. 1, (Ambon: Univ. Pattimura, 2009)
Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara; Sebuah Kajian
Filsafat, Dosen Filsafat Kebudayaan, Fakultas Filsafat UGM, Jurnal
Filsafat, Agustus 2004,
Dalam http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads /2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf didownload pada tanggal 20/09/2014
Dalam http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads /2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf didownload pada tanggal 20/09/2014
Sholikin, Muhammad, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, CD-ROM,
(Yogyakarta: Narasi Anggota IKAPI, 2010)
Subagia, I Wayan, I Gusti, Potensi-Potensi Kearifan Lokal
Masyarakat Bali dalam Bidang Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran,
No. 3, (Singaparna: IKIP Negeri
Singaparna, 2009)
Suhartini, Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Jurnal Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, (Yogyakarta: Univ. Negeri Yogyakarta, 2009)
Tim Penyusun Puslitbang Kebudayaan dan Pariwisata Kemendikbud, Bunga
Rampai Kearifan Lokal di Tengah-tengah Modernisasi, CD-ROM, (Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, tt.)
Woodward, Mark, Java, Indonesia and Islam, CD-ROM, (USA:
Departement of Religious Studies Arizona State University, 2010)
Woga, Edmund, Misi, Misiologi dan Evangelisasi di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2009) 173
Sumber lain:
- http://www.deptan.go.id/dpi/detailadaptasi3.php
- http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196608081991031- AGUS_MULYANA/ Seminternasional.pdf
- https://ihdaihda.wordpress.com/2011/08/
- http://blog.suaramerdeka.com/2014/06/10/gusjigang-pemaknaan-dan-konservasi/
[1]Edmund Woga, Misi, Misiologi dan Evangelisasi di
Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius,
2009) 173
[2] Jhon M. Echols dan Hassan Shadzily, Kamus Inggris-Indonesia,
(Jakarta: PT. Gramedia, 1976)
[3] Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah
Kajian Filsafat, (Dosen Filsafat Kebudayaan, Fakultas Filsafat UGM), Jurnal
Filsafat, Agustus 2004, http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf didownload pada tanggal 20 Okt 2014
[4] Tim Penyusun Puslitbang Kebudayaan dan Pariwisata
Kemendikbud, Bunga Rampai Kearifan Lokal di Tengah-tengah Modernisasi,
CD-ROM, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, tt.) ix
[5]
Dr. Agus Mulyana, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._
SEJARAH/196608081991031 - AGUS_MULYANA/ Seminternasional.pdf.
[6]
Suhartini, Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan, Jurnal Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
(Yogyakarta: Univ. Negeri Yogyakarta, 2009) B-206
[7] Muhammad Takari, Ketua
Departemen Etnomusikologi FIB USU dan Ketua Departemen Adat, Seni, dan Budaya
Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia dalam http://www.etnomusikologiusu.com/artikel-kearifan-lokal.html
[8] Muhammad
Sholikin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, CD-ROM, (Yogyakarta: Narasi
Anggota IKAPI, 2010) 19
[9] Ahmad Baso, NU Studies; Pergolakan Pemikiran
Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, CD-ROM,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006) 387
[10]
Marcus J. Pattinama, Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal; Studi
Kasus di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat), Jurnal Makara, Sosial
Humaniora, Vol. 13, No. 1, (Ambon: Univ. Pattimura, 2009) 9
[11]
Agus Dono Karmadi, Kepala Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Jawa Tengah, Makalah
disampaikan pada Dialog Budaya Daerah Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bekerjasama dengan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, di Semarang 8 - 9 Mei
2007.
[12] Thimoty Daniels, Islamic Spectrum in Java, CD-ROM,
(USA: Ashgate Publishing Limited, 2009) 22
[13] Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam, CD-ROM,
(USA: Departement of Religious Studies Arizona State University, 2010) 211
[14] Hyung-Jun Kim, Reformist Muslim in Yogyakarta
Village; The Islamic Transformation of Contemporary Socio-Religious Life,
CD-ROM, (Australia: ANU E Press, 2007) 114
[15] H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Sudarsono, SH. Kearifan
Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa, CD-ROM, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007) 179
[16]Syarif
Muis dalam situs resmi Kementrian Pertanian; Penanganan Perubahan Iklim (http://www.deptan.go.id/dpi/detailadaptasi3.php)
diakses tanggal 14 november 2014
[17] I
Wayan Subagia dan I Gusti Lanang Wiratma, Potensi-Potensi Kearifan Lokal
Masyarakat Bali dalam Bidang Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran,
No. 3, (Singaparna: IKIP Negeri
Singaparna, 2009) 1
[18] http://blog.suaramerdeka.com/2014/06/10/gusjigang-pemaknaan-dan-konservasi/ diakses tanggal 2 Desember 2014
[19] Sumber : https://ihdaihda.wordpress.com/2011/08/ diakses tanggal 2
Desember 2014
[20] Unggul Sudrajat, Di Atas
Bukit Santri, Di Bawah Langit Ilahi Kearifan Spiritual Pengelolaan Hutan Santri
Di Pesan-Trend Ilmu Giri, Dusun Nogosari, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri,
Bantul, Kumpulan Buku Kearifan Lokal di Tengah
Modernisasi (Jakarta: Kebudayaan dan Pariwisata
Kemendikbud, tt) 216.
Trimksh..smg bermnfaat
ReplyDeleteTrimksh bos
ReplyDeleteok..sama - sama pak hamid..
ReplyDelete