Monday, February 23, 2015

PENDEKATAN STUDI ISLAM MELALUI KEARIFAN LOKAL


Oleh: Iskandar, S.Pd.I

A.      Pendahuluan
Kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.
Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Ciri-ciri kearifan lokal adalah sebagai berikut: mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Secara substantif, kearifan lokal berorientasi pada: (1) keseimbangan dan harmoni manusia, alam dan budaya; (2) kelestarian dan keragaman alam dan kultur; (3) konservasi sumber daya alam dan warisan budaya; (4) penghematan sumber daya yang bernilai ekonomi; (5) moralitas dan spiritualitas.[1] Kearifan lokal banyak kita temukan diberbagai sektor baik dibidang pertanian, industri, pendidikan, lingkungan, keamanan maupun pemerintahan.
B.       Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat.[2] Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam pengertian kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, kearifan lokal disebut local wisdom yang berarti kearifan atau kebijaksanaan di suatu tempat ataupun wilayah tertentu.
Menurut Sartini (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Menggali Kearifan Lokal[3] dia mengatakan Lokal Genius adalah ide-ide lokal yang memilki karakteristik seperti: bijaksana, penuh hikmat, nilai-nilai yang baik, yang ditanam dan diikuti oleh masyarakat. Local genius juga merupakan kearifan lokal, berdiri dari luar berbudaya, yang mengakomodasi dan mengintegrasikan budaya luar ke dalam, dan memberi mereka dengan cara yang benar. Local genius muncul kepada nilai, norma, iman, adat, dll. Mereka memiliki arti khusus dan fungsi. Pasti berubah karena lintas budaya dan globalisasi. Ini memberikan tantangan untuk mengeksplorasi dan mengkritik dengan cara ilmiah.
Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku anak-anaknya.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka penulis  menyimpulkan kearifan lokal adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai budaya yang baik yang sebenarnya sudah diajarkan semenjak lama dari nenek moyang kita terdahulu dan masih dipertahankan dan dilestarikan dari generasi ke generasi sehingga menjadi sebuah tradisi yang lumrah.

C.      Hakikat Kearifan Lokal
Kearifan Lokal merupakan jawaban kreatif terhadap situasi goegrafis-politis, historis dan situasional yang bersifat lokal yang mengandung sikap, pandangan dan kemampuan suatu masyarakat didalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya. Semua itu merupakan upaya untuk dapat memberikan kepada warga masyarakatnya suatu daya tahan dan daya tumbuh di wilayah dimana masyarakat itu berada. Oleh sebab itu, kearifan lokal merupakan perwujudan dari daya tahan dan daya tumbuh yang dimanifestasikan melalui pandangan hidup, pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berupa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, sekaligus memelihara kebudayaannya.[4]
Dalam pengertian inilah kearifan lokal sebagai jawaban untuk bertahan dan menumbuhkan secara berkelanjutan kebudayaan yang didukungnya. Setiap masyarakat termasuk masyarakat tradisional, dalam konteks kearifan lokal seperti itu, pada dasarnya terdapat suatu proses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan. Hal itu berkaitan dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan.
Wujud kearifan lokal yang umumnya berkembang didaerah pedesaan karena ada kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan dan nilai-nilai yang dihayati didalam masyarakatnya.
Kadangkala pengetahuan lokal biasa disebut dengan kearifan masyarakat yang tidak relevan dan tidak memiliki kekuatan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan produktivitas dalam dunia modern, padahal pengetahuan lokal yang dianggap tidak rasional dan bersifat tradisional serta kerapkali dianggap unik itu masih dijumpai dan berkembang didalam kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan untuk menjawab perubahan lingkungan alam saat ini. Dalam konteks itulah kearifan lokal menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

D.      Sejarah Terbentuknya Kearifan Lokal
Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuknya kearifan lokal mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara).[5]
Kearifan lokal adalah tata nilai kehidupan masyarakat yang menjelma dalam bentuk religi, adat istiadat maupun budaya yang merupakan warisan dari kakek moyang kita. Dalam perkembangannya, setelah melakukan adaptasi dengan lingkungannya, masyarakat mengembangkan kearifan tersebut menjadi sebuah pengetahuan, ide dan peralatan yang kemudian dipadu dengan adat istiadat, nilai budaya aktivitas pengelolaan lingkungan sehingga berguna bagi kehidupan mereka.[6]
Terbentuknya suatu kearifan diilhami dari ide atau gagasan seseorang/perorangan. Gagasan tersebut kemudian ditemukan dan dipadukan dengan gagasan orang lain sehingga terciptalah satu gagasan yang bersifat kolektif.[7] Tujuannya adalah untuk suatu kebaikan dan keseimbangan sebuah komunitas. Baik kemunitas kecil maupun komunitas yang lebih besar. Atau kemunitas pedesaan dan juga komunitas suatu masyarakat. Kearifan lokal akan terus bergerak dan berkembang seiring dengan kemajuan manusianya terhadap cara berfikir, berperilaku dan bermasyarakat.
Kearifan ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan budaya pada lingkungan tersebut. Karena dalam pelaksanaannya erat sekali dengan pelaksanaan budaya.
Hadirnya Islam dengan pendakwah-pendakwah yang cekatan dan kegigihannya bisa merangkul kearifan yang baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam sehingga masyarakat merasa enjoy menerima Islam menjadi agamanya.[8] Umumnya para pendakwah Islam dapat menyikapi tradisi lokal yang dipadukan menjadi bagian dari tradisi yang Islami, karena berpegang pada suatu kaidah ushuliyah (kaidah yang menjadi pertimbangan pada perumusan hukum menjadi hukum fiqih), yang cukup terkenal, yakni:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Sentuhan ajaran Islami dapat  mewarnai berbagai ritual dan tradisi lokal yang dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia, bukti keberhasilan dakwah Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin. Walaupun masih ada diantara mereka terjadi perselisihan pendapat. Penyebabnya adalah ada sebagian masyarakat yang menghendaki agar lahirnya Islam di Indonesia layaknya Islam yang ada  di Arab. Namun realita menunjukkan bahwa ritual dan tradisi lokal selalu dilakukan oleh kalangan muslim tradisional pada umumnya, bukan hanya di jawa, namun menyebar ke seluruh pelosok nusantara.
Proses percampuran antara tradisi lokal, Hindu-Budha dan Islam dalam kehidupan keagamaan masyarakat yang bercorak Islam salah satunya tidak dapat dilepaskan dari peranan para wali sembilan (wali songo). Secara umum para wali songo menyebarkan ajaran agama Islam melalui media dakwah yg telah disesuaikan dengan keadaan, adat istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Walisongo telah mengajarkan kepada kita sebuah tradisi keagamaan yang transformatif (tahawwuli wa taghyiri). Proses Islamisasi yang dilakukan oleh walisongo bukan sekedar mengajak masyarakat masuk Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju tatanan sosial yang lebih adil, manusiawi dan juga berakar pada tradisi masyarakat setempat.[9]

E.       Pola Pelestarian atau Pewarisan Kearifan Lokal
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan budayanya bahkan justru mampu mengembangkan budaya yang telah ada menjadi budaya yang bisa dikenal oleh khalayak ramai. Budaya yang berlaku dalam masyarakat merupakan bentuk dari kearifan lokal yang secara turun temurun sudah berlaku didalam masyarakat.
Kearifan lokal yang sudah menjadi sosok budaya didalam masyarakat memiliki pola pelestarian dan pewarisan. Diantara cara melestarikan kearifan lokal adalah:
1.      Memberikan pendidikan dan pengajaran tentang kebudayaan kepada generasi muda sedini mungkin, sehingga menimbulkan rasa cinta dan rasa memiliki terhadap kearifan lokal yang ada;
Contoh: adanya muatan-muatan lokal di sekolah-sekolah tentang kebudayaan daerah setempat.
2.      Mengupayakan adanya dukungan di semua pihak, baik dari pemerintah maupun swasta terhadap perkembangan kearifan lokal.
3.      Pemahaman dari suatu pengalaman yang panjang dengan pengamatan secara langsung atau disebut learning by experience yang dipertahankan dari generasi ke generasi.[10]
Beberapa motivasi yang harus digerakkan agar kearifan lokal bisa dilestarikan,[11] diantaranya:
1.      Motivasi untuk menjaga, mempertahankan dan mewariskan warisan budaya lokal yang diwarisinya dari generasi sebelumnya;
2.      Motivasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan generasi penerus bangsa terhadap nilai-nilai sejarah kepribadian bangsa dari masa ke masa melalui pewarisan khasanah budaya dan nilai-nilai budaya secara nyata yang dapat dilihat, dikenang dan dihayati;
3.      Motivasi untuk menjamin terwujudnya keragaman atau variasi lingkungan budaya;
4.      Motivasi ekonomi yang percaya bahwa nilai budaya lokal akan meningkat bila terpelihara dengan baik sehingga memiliki nilai komersial untuk meningkatkan kesejahteraan;
5.      Motivasi simbolis yang meyakini bahwa budaya lokal adalah manifestasi dari jati diri suatu kelompok atau masyarakat sehingga dapat menumbuhkembangkan rasa kebanggaan, harga diri dan percaya diri yang kuat.    
F.       Macam-Macam Kearifan Lokal
Macam-macam kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Secara substansi kearifan lokal dapat berupa aturan mengenai; kelembagaan dan sanksi sosial, ketentuan tentang pemanfaatan ruang dan perkiraan musim untuk bercocok tanam, pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, bentuk adaptasi tempat tinggal terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya.
Kearifan lokal dapat diklasifikasikan menurut wujudnya:
1.    Wujud religi dan kebudayaan, antara lain: filsafat, aturan, keyakinan mengenai Tuhan/Dewa, keyakinan mengenai alam lain sesudah mati;
2.    Wujud sistem sosial, antara lain: upacara dan ritual, kegiatan-kegiatan sosial yang dilandasi nilai-nilai atau aturan-aturan keagamaan dan organisasi-organisasi agama;
3.    Wujud religi dan Kebudayaan fisik, antara lain: bangunan candi, patung dewa-dewa, masjid, peralatan upacara dan tempat-tempat ibadah serta peralatannya.
G.      Contoh Kearifan Lokal
-       Tahlilan, recitation of several verses from the Holy Quran and prayers were made for the well-being of community;
-       Kasidahan, traditional religious singing accompanied by hand drums;[12]
-       Ruwahan, observances is to cleanse and purify the physical body in preparation for the fast;[13] (Ibadah untuk membersihkan dan memurnikan jiwa sebagai persiapan menghadapi puasa).
-       Selapanan, thirty-five days after birth all these things are taken down and there is another slametan, with roughly the same food as on the fifth day.[14]
-       Kelahiran; ngapati, nglimani, mitoni[15]/tingkeban, nyangani, brokohan, sepasaran, puputan, selapanan, tedhak siti, setahunan;
-       perkawinan; kumbakarnan, pasang tarub, midadareni, majemukan, selametan, walimahan, sepasaran manten;
-       penggunaan ruang dalam masyarakat baduy; mereka membagi 3 zone. Zone pertama untuk pemukiman, kedua untuk bercocok tanam dan zone teratas adalah untuk hutan dan pemujaan. Dalam sistem perladangan mereka tidak melakukan perubahan secara besar-besaran akan tetapi mengikuti alam yang berlaku saat itu.[16]
-       Tradisi Masyarakat Bali yang relevan dengan teori pendidikan dan pengajaran modern; konsepsi belajar-mengajar, jenjang dan disiplin belajar.[17]
-       Kudus, etos Gusjigang memiliki makna ‘gus’ yang berarti bagus, ‘ji’ yang berarti mengaji, dan ‘gang’ yang berarti berdagang. Melalui filosofi inilah sunan kudus menuntun para pengikutnya beserta masyarakat kudus menjadi orang-orang yang memiliki kepribadian yang bagus, tekun mengaji, dan mau berusaha atau berdagang. [18]
Dalam tulisan Ihda Taftazani seorang praktisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) atau juga disebut occupational safety. Spesialisasi di OHSAS dan NOSA, berkecimpung di dunia manajemen sistem K3. Juga seorang safety trainer dan konsultan. Pernah di industri manufaktur, industri tambang mineral, industri alat berat. Setelah sekian lama di Papua, sekarang di JakartaSalah satu falsafah sunan kudus : “yen sira landep ojo natoni, yen sira banter ojo nglancangi, yen sira mandhi ojo mateni”. Yang artinya : “Jika engkau cukup tajam perkataannmu jangan melukai, jika engkau cukup cepat jangan mendahului, jika engkau cukup sakti jangan membunuh”. Ini adalah bukti kenegarawan Sunan Kudus dalam menjaga hati, kesopanan, tingkah laku beliau supaya tidak takabbur.[19]
-       Pati dan sekitarnya, dikenal istilah ''Sambatan'' sebuah perilaku pro sosial yang menjadi ciri khas kesatuan bangsa Indonesia terutama yang hidup diperdesaan. Kontak sosial yang begitu terasa melekat pada setiap warga mampu membentuk semangat gotong-royong yang tinggi tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun.
-       Dan lain-lain, termasuk budaya gotong-royong, saling menghormati, tepa selira, ziarah dan masih banyak yang lainnya.

H.      Hikmah Kearifan Lokal
Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak akan mati, karena semuanya merupakan kenyataan  hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari.
Selain itu, kearifan lokal dapat mentransfer nilai-nilai luhur suatu bangsa yang merupakan warisan yang mahal dari para leluhur.
Keterkaitan manusia dengan alam dalam konsep penyatuan  terwujud dalam pandangan masyarakat jawa bahwa manusia dan alam hidup memiliki ketergantungan diantara keduanya.
Hamengku Bumi adalah filosofi yang paling berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Bahwa manusia wajib menjaga, merawat dan mengembangkan kelestarian lingkungan alam karena alam telah memberikan sumber kehidupan bagi manusia untuk bisa melanjutkan keturunan dari generasi ke generasi.
H.M. Nasruddin Anshory dalam Unggul Sudrajat menyatakan bahwa hubungan manusia dengan alam sangatlah erat, alam tercipta untuk kebutuhan para manusia yang mana semuanya ikut bertasbih dihadapanNya. seperti Firman Allah swt pada Surat Alhajj: 18 berikut ini:

Artinya: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?

Juga dijelaskan dalam hadist, Tidaklah seorang  muslim yang menanam pohon atau yang mananam  tanaman yang kemudian hasilnya dimakan burung, manusia atau binatang, melainkan hal itu bagi penanam itu menjadi sedekah (HR. Bukhori)[20]
 
I.         Kesimpulan
Kearifan lokal adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai budaya yang baik yang sebenarnya sudah diajarkan semenjak lama dari nenek moyang kita terdahulu dan masih dipertahankan dan dilestarikan dari generasi ke generasi sehingga menjadi sebuah tradisi yang lumrah.
Kearifan lokal yang dapat dipertahankan dan patut dilestarikan sesuai dengan ajaran agama Islam merupakan hasil usaha dari para ulama-ulama jaman dahulu terutama para waliyullah.
Kearifan lokal bisa dipertahankan dari generasi ke generasi dengan cara penyebaran, pencampuran dan pembauran budaya antar masyarakat. Dan bisa menjawab perubahan lingkungan masyarakat saat ini sehingga wujudnya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat.









J.        Kepustakaan
Anies, H.M. Madchan, Tahlil dan Kenduri; Tradisi Santri dan Kiai, CD-ROM, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009)
Anshoriy Ch , H.M. Nasruddin, Sudarsono, SH. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa, CD-ROM, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007)
Baso , Ahmad, NU Studies; Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Noe-Liberal, CD-ROM, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006)
Daniels, Thimoty, Islamic Spectrum in Java, CD-ROM, (USA: Ashgate Publishing Limited, 2009)M. Echols, Jhon dan Hassan Shadzily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1976)
Dono Karmadi, Agus, Kepala Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Jawa Tengah, Makalah Dialog Budaya Daerah Jawa Tengah (Semarang: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah) 8 - 9 Mei 2007
Kim, Hyung-Jun, Reformist Muslim in Yogyakarta Village; The Islamic Transformation of Contemporary Socio-Religious Life, CD-ROM, (Australia: ANU E Press, 2007
M. Echols , Jhon dan Hassan Shadzily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1976)
Pattinama, Marcus J. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal; Studi Kasus di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat), Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, (Ambon: Univ. Pattimura, 2009)
Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara; Sebuah Kajian Filsafat, Dosen Filsafat Kebudayaan, Fakultas Filsafat UGM, Jurnal Filsafat, Agustus 2004,
Dalam http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads /2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf  didownload pada tanggal 20/09/2014
Sholikin, Muhammad, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, CD-ROM, (Yogyakarta: Narasi Anggota IKAPI, 2010)
Subagia, I Wayan, I Gusti, Potensi-Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Bidang Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, No. 3, (Singaparna:  IKIP Negeri Singaparna, 2009)
Suhartini, Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Jurnal Prosiding Seminar Nasional Penelitian, (Yogyakarta: Univ. Negeri Yogyakarta, 2009)
Tim Penyusun Puslitbang Kebudayaan dan Pariwisata Kemendikbud, Bunga Rampai Kearifan Lokal di Tengah-tengah Modernisasi, CD-ROM, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, tt.)
Woodward, Mark, Java, Indonesia and Islam, CD-ROM, (USA: Departement of Religious Studies Arizona State University, 2010)
Woga, Edmund, Misi, Misiologi dan Evangelisasi di Indonesia,  (Yogyakarta: Kanisius, 2009) 173

Sumber lain:

  1. http://www.deptan.go.id/dpi/detailadaptasi3.php 
  2. http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196608081991031- AGUS_MULYANA/ Seminternasional.pdf 
  3. https://ihdaihda.wordpress.com/2011/08/ 
  4. http://blog.suaramerdeka.com/2014/06/10/gusjigang-pemaknaan-dan-konservasi/



[1]Edmund Woga, Misi, Misiologi dan Evangelisasi di Indonesia,  (Yogyakarta: Kanisius, 2009) 173
[2] Jhon M. Echols dan Hassan Shadzily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1976)
[3] Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat, (Dosen Filsafat Kebudayaan, Fakultas Filsafat UGM), Jurnal Filsafat, Agustus 2004, http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf didownload pada tanggal 20 Okt 2014
[4] Tim Penyusun Puslitbang Kebudayaan dan Pariwisata Kemendikbud, Bunga Rampai Kearifan Lokal di Tengah-tengah Modernisasi, CD-ROM, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, tt.) ix
[5] Dr. Agus Mulyana, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._ SEJARAH/196608081991031 - AGUS_MULYANA/ Seminternasional.pdf.
[6] Suhartini, Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Jurnal Prosiding Seminar Nasional Penelitian, (Yogyakarta: Univ. Negeri Yogyakarta, 2009) B-206
[7] Muhammad Takari, Ketua Departemen Etnomusikologi FIB USU dan Ketua Departemen Adat, Seni, dan Budaya Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia dalam http://www.etnomusikologiusu.com/artikel-kearifan-lokal.html
[8] Muhammad Sholikin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, CD-ROM, (Yogyakarta: Narasi Anggota IKAPI, 2010) 19
[9] Ahmad Baso, NU Studies; Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, CD-ROM, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006) 387
[10] Marcus J. Pattinama, Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal; Studi Kasus di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat), Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, (Ambon: Univ. Pattimura, 2009)  9
[11] Agus Dono Karmadi, Kepala Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Jawa Tengah, Makalah disampaikan pada Dialog Budaya Daerah Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, di Semarang 8 - 9 Mei 2007.
[12] Thimoty Daniels, Islamic Spectrum in Java, CD-ROM, (USA: Ashgate Publishing Limited, 2009) 22
[13] Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam, CD-ROM, (USA: Departement of Religious Studies Arizona State University, 2010) 211
[14] Hyung-Jun Kim, Reformist Muslim in Yogyakarta Village; The Islamic Transformation of Contemporary Socio-Religious Life, CD-ROM, (Australia: ANU E Press, 2007) 114
[15] H.M. Nasruddin Anshoriy Ch dan Sudarsono, SH. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa, CD-ROM, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) 179
[16]Syarif Muis dalam situs resmi Kementrian Pertanian; Penanganan Perubahan Iklim (http://www.deptan.go.id/dpi/detailadaptasi3.php) diakses tanggal 14 november 2014 
[17] I Wayan Subagia dan I Gusti Lanang Wiratma, Potensi-Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Bidang Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, No. 3, (Singaparna:  IKIP Negeri Singaparna, 2009) 1
[18] http://blog.suaramerdeka.com/2014/06/10/gusjigang-pemaknaan-dan-konservasi/ diakses tanggal 2 Desember 2014
[19] Sumber : https://ihdaihda.wordpress.com/2011/08/  diakses tanggal 2 Desember 2014
[20] Unggul Sudrajat, Di Atas Bukit Santri, Di Bawah Langit Ilahi Kearifan Spiritual Pengelolaan Hutan Santri Di Pesan-Trend Ilmu Giri, Dusun Nogosari, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Bantul, Kumpulan Buku Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi (Jakarta: Kebudayaan dan Pariwisata Kemendikbud, tt) 216.

3 comments: